"Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan PEMAHAMAN AGAMA kepadanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Sabtu, 26 Mei 2012

FIKIH MUAMALAT ; KHIYAR

 

1. Pengertian


Secara bahasa khiyar berarti pilihan. Dalam transaksi jual beli pihak pembeli maupun penjual memiliki pilihan untuk menentukan apakah mereka betul-betul akan membeli atau menjual, membatalkannya dan atau menentukan pilihan di antara barang yang ditawarkan. Pilihan untuk meneruskan atau membatalkan dan menjatuhkan pilihan di antara barang yang ditawarkan, jika dalam transaksi itu  ada beberapa item yang harus dipilih, dalam fikih muamalat disebut khiyar.

Suatu akad lazim[1] adalah akad yang kosong dari salah satu khiyar yang memiliki konsekuensi bahwa pihak yang menyelenggarakan transaksi dapat melanjutkan atau membatalkan kontrak. Khiyar ini penting dalam transaksi untuk menjaga kepentingan, kemaslahatan dan kerelaan kedua pihak yang melakukan kontrak serta melindungi mereka dari bahaya yang mungkin menimbulkan kerugian bagi mereka. Dengan demikian khiyar disyariatkan oleh Islam untuk memenuhi kepentingan yang timbul dari transaksi bisnis dalam kehidupan manusia. Sumber-sumber yang melandasi khiyar ada dua macam yaitu kesepakatan antara pihak yang menyelenggarakan akad seperti khiyar khiyar syarat dan ta’yin dan syara’ sendiri seperti khiyar ru’yah dan aib.

2. Macam-macam khiyar.
Khiyar itu banyak sekali macamnya. Dalam literatur fikih muamalat terdapat kurang lebih 17 (tujuh belas) macam khiyar. Namun untuk kajian kali ini kita hanya akan membahas lima macam khiyar yang penting yaitu khiyar majlis, ta’yin, syarat, aib, dan ru’yah.

2.1 Khiyar Majlis.
Yang dimaksud dengan khiyar majlis adalah hak pilih dari pihak yang melangsungkan akad untuk membatalkan (mem-fasakh) kontrak selama mereka masih berada di tempat diadakannya kontrak (majlis akad) dan belum berpisah secara fisik. Khiyar ini terbatas hanya pada akad-akad yang diselenggarakan oleh dua pihak seperti akad muawazhot[2] dan ijaroh. Madzhab yang sangat vokal membela kedudukan khiyar majlis adalah Syafi’i  dan Hambali sementara itu Maliki dan Hanafi menentang keberadaan khiyar majlis dalam akad.

Madzhab Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa khiyar majlis ini tidak ada dasarnya dalam syariah karena bertentangan dengan nas al-Qur’an S. al-Maidah : 1 yang artinya : “ Wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu” dan an-Nisa : 29 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. Menurut mereka adanya ijab dan qobul dalam akad dipandang sudah memenuhi seluruh persyaratan akad berdasarkan ayat tersebut. Karena itu kedudukan khiyar majlis tidak diperlukan lagi karena ijab dan qobul sudah otomatis mengandung kerelaan dari masing-masing yang melangsungkan akad sehingga tidak perlu menunggu khiyar majlis.

Sebenarnya tidak ada pertentangan antara khiyar majlis dengan semangat ayat-ayat al-Qur’an di atas. Hal ini disebabkan karena akad yang sempurna dan memiliki kekuatan untuk dijalankan (lazim) adalah akad yang, selain sudah memenuhi segenap syarat dan rukunnya, juga tidak mengandung khiyar di dalamnya. Justru khiyar ini disyariatkan untuk menegaskan dan mengokohkan kesempurnaan “berlaku suka sama suka di antara kamu”. Madzhab Syafi’i dan Hambali berpandangan bahwa jika akad telah disepakati oleh kedua belah pihak dengan ijab dan qobul, maka kedudukan akad ini menjadi jaiz selama kedua pihak masih berada di dalam majlis akad. Pada saat itu masing-masing pihak masih memperoleh khiyar untuk menetapkan apakah transaksi dibatalkan atau terus dilanjutkan. Untuk menentukan bagaimana hakekat perpisahan yang mengandung konsekuensi keluar dari majlis akad dan khiyar majlis telah dilampaui sehingga transaksi secara hukum syara’ telah dinilai berlangsung, diserahkan kepada urf atau kebiasaan yang berlaku di masyarkat itu.  Khiyar majlis ini didasarkan pada hadis shohih :
البيّعـان بالخيـار ما لم يــتـفـرق أو يقـول أحـدهـمـا للا خـر : اخـتـر 
Kedua pihak (pembeli dan penjual) memiliki khiyar selama keduanya belum berpisah atau salah satu berkata kepada yang lain : Pilihlah”. Maksud “pilihlah” di sini adalah pemilihan antara apakah transaksi itu jadi dituntaskan atau dibatalkan.

2.2 Khiyar Syarat
Khiyar syarat merupakan hak dari masing-masing pihak yang menyelenggarakan akad untuk melanjutkan atau membatalkan akad dalam jangka waktu tertentu. Misalnya dalam suatu transaksi jual beli seorang pembeli berkata kepada penjual : Aku membeli barang ini dari kamu dengan syarat aku diberi khiyar selama sehari atau tiga hari. Khiyar ini diperlukan karena si pembeli perlu waktu untuk mempertimbangkan masak-masak pembelian ini. Ia juga perlu diberikan kesempatan untuk mencari orang yang lebih ahli untuk diminta pendapatnya mengenai barang yang akan dibeli sehingga terhindar dari kerugian atau penipuan.

Khiyar syarat sama halnya dengan khiyar majlis dalam arti kata hanya berlaku bagi akad-akad lazim saja, yaitu akad yang dapat dibatalkan oleh kerelaan pihak yang menyelenggarakannya seperti jual beli, ijaroh, musaqoh, dan mudhorobah. Adapun akad yang tidak lazim seperti wakalah, wadiah, hibahdan wasiyah tidak memerlukan khiyar karena tabiatnya memang tidak membutuhkannya.

Masa tenggang khiyar syarat

Para ulama berselisih pendapat mengenai lamanya masa tenggang waktu dalam khiyar syarat. Namun umumnya mereka sepakat bahwa tenggang waktu bagi khiyar syarat harus ditentukan secara tegas dan jelas sebab kalau tidak akad terancam fasad (menurut Hanafi) dan batal menurut Syafi’iyah dan Hambaliyah. [3] Masa tenggang khiyar ini mulai berlaku sesudah akad disepakati bersama. Pada garis besarnya perbedaan mereka mengenai lamanya masa tenggang ini dapat dikelompokkan kepada tiga macam.
  1. Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat masanya tidak boleh lebih dari tiga hari karena hadis yang menetapkan khiyar ini menyebutkan masa tiga hari.
اذا بايعـت فـقـل : لا خـلا بـة و لى الخـيار ثـلا ثـة ايـام   رواه البخارى
“ Jika kamu menjual maka kataakanalah : Tidak ada kecurangan. Dan saya memiliki khiyar selama tiga hari”. H. R. Bukhori.
Menurut mereka bahwa masa tiga hari sudah dirasa cukup bagi pembeli untuk menjatuhkan pilihannya. Karena itu jika ia melanggar lebih dari tiga hari, akadnya maenjadi fasad dan batal.
  1. Madzhab Hambali dan sebagian Hanafiyah berpendapat bahwa waktu tenggang bagi khiyar syarat ini tidak harus merujuk kepada hadis tersebut melainkan kepada kesepakatan pihak-pihak yang melakukan transaksi meskipun pada akhirnya harus melebihi dari tiga hari. Hal ini disebabkan karena khiyar syarat ditetapkan oleh syara’ untuk memudahkan transaksi dan bermusyawarah. Masa tiga hari kadang-kadang tidak cukup untuk mengambil keputusan yang bijak. Meskipun dalam hadis tersebut dinyatakan tiga hari dan itu dianggap cukup, namun bagi orang-orang tertentu tiga hari belum tentu cukup. Karena itu persoalan lamanya tenggang ini diserahkan kepada pihak yang melangsungkan transaksi.
  2. Madzhab Maliki berpendapat bahwa tenggang masa khiyar syarat ditentukan oleh keadaan kebutuhan di lapangan dan ini akan berbeda-beda tergantung kepada keadaan masing-masing barang. Kalau barang yang dibeli itu mudah rusak seperti buah-buahan, masanya cuma sehari; kalau pakaian dan barang-barang tahan lama bisa mencapai tiga hari; tetapi kalau barang itu jauh dari jangkauan si pembeli, maka bisa melebihi dari tiga hari.    

2.3 Khiyar A’ib
Yang dimaksud dengan khiyar a’ib adalah hak yang ada pada pihak yang melakukan akad untuk membatalkan atau meneruskan akad bila mana ditemukan a’ib pada barang yang ditukar atau alat tukarnya (harga) yang disepakati sementara si empunya tidak tahu tentang hal itu pada saat akad berlangsung. Persoalan ini muncul bilamana barang yang ditransaksikan itu cacat atau alat penukarnya berkurang nilainya  dan itu tidak diketahui oleh si empunya. Ketetapan adanya khiyar ini dapat diketahui secara terang-terangan atau secara implisit. Dalam setiap transaksi, pihak yang terlibat secara implisit  menghendaki agar barang dan penukarnya bebas dari cacat. Hal ini masuk akal karena pertukaran itu harus dilangsungkan secara suka sama suka dan ini hanya mungkin jika barang dan penukarnya tidak mengandung cacat.

Khiyar ini berlaku pada transaksi-transaksi pada akad lazim yang mengandung kemungkinan untuk dibatalkan seperti akad jual beli, ijaroh dan lain-lain. Diceritakan bahwa suatu hari Rasulullah SAW berjalan di suatu pasar dan melewati seorang pedagang yang menjual makanan. Beliau lalu memasukkan tangannya ke dalam makanan itu dan mendapati di dalamnya basah. Seketika itu beliau berkata : “ Barang siapa curang (menipu) bukanlah dari golongan kami”. Rasulullah SAW juga bersabda :
المسـلم أخـو المسلم لا يحـل لمسـلم باع من أخـيه بيـعا و فيـه عـيب الا بينـه له  رواه ابن ماجه
“Seorang Muslim ada saudara bagi Muslim yang lain, tidak halal bagi seorang Muslim yang menjual barang dagangan kepada saudaranya, di mana di dalamnya ada cacat, melainkan ia memberitahukan kepadanya.” H.R. Ibnu Majah. 

Syarat ditetapkannya khiyar a’ib.
1.      Adanya cacat pada barang atau penukarnya sebelum akad atau sesudahnya tetapi barang belum diserahkan kepada pembeli. Jika barang itu terlanjur sudah diserahkan, maka khiyar menjadi tidak berlaku.
2.     Si pembeli tidak mengetahui adanya kecacatan itu pada saat akad dan penyerahan. Sekiranya ia tahu pada saat itu dan ia menerima penyerahan barang, maka ia dianggap telah rela terhadap barang itu dan khiyar a’ib tidak berlaku.
3.     Tidak ada persyaratan dari si pemilik tentang bebasnya barang dari cacat. Seandainya disyaratkan dalam akad, maka tidak berlaku khiyar bagi si pembeli jika ia telah membebaskan (barangnya dari cacat), berarti ia telah menghapuskan haknya sendiri.
4.     Cacat itu tidak boleh hilang sebelum dibatalkan transaksi.

Adapun waktu dimulainya khiyar a’ib adalah ketika diketahui adanya kecacatan meskipun hal itu terjadi jauh sesudah akad. Untuk mem-fasakh akad setelah terdeteksi kecacatan, para ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa pengembalian barang karena cacat boleh dilakukan belakangan dan tidak harus seketika dan sebagian yang lain mewajibkan penyegeraan pengembalian.[4]  

Dampak hukum khiyar a’ib terhadap akad adalah bahwa akad itu menjadi tidak lazim bagi pihak yang memiliki khiyar a’ib yaitu pembeli. Dalam kondisi demikian ia memiliki dua pilihan apakah ia rela dan puas terhadap barang yang akan dibeli. Kalau ia rela dan puas, maka khiyar tidak berlaku baginya dan ia harus menerima barang. Namun jika ia menolak dan mengembalikan barang kepada pemiliknya, maka akad tersebut menjadi batal atau dengan kata lain tidak ada transaksi.

Kapan khiyar a’ib tidak berlaku ?
1.      Pernyataan kerelaan terhadap barang yang cacat sesudah ia mengetahui. Ini bisa dikatakan secara terang-terangan umpamanya : Saya puas dan rela dengan barang itu. Atau secara tidak terang-terangan tetapi sikapnya menunjukkan ia rela umpamanya ia membeli baju dan memeriksanya dengan teliti lalu mendeteksi kekurangan daalam baju itu tetapi ia tetap membayar kepadaa kasir dan mau memakainya. Sikap ini dihukumi sebagai sikap rela terhadap barang yang cacat.
2.     Si pembeli sendiri mengatakan : Saya membeli barang ini tanpa menggunakan hak khiyar saya. Dengan demikian ia dihukumi telah rela dengan kondisi barang yang akan dibeli.
3.     Rusaknya barang di tangan orang yang memiliki khiyar. Umpamanya kain dibawa lalu ia datang dan kain itu telah berubah menjadi pakaian.
4.     Berubahnya keadaan barang yang ditransaksikan menjadi lebih besar atau bertambah di mana pertambahan ini bukan sifat alamiah dari barang itu melainkan karena ulah orang yang memiliki khiyar. Umpamanya si pembeli membawa kain dan ia datang kembali sementara kain sudah dibatik misalnya. Ini tidak boleh karena ada unsur riba di dalamnya.

4. Khiyar Ru’yah
Yang dimaksud dengan khiyar ru’yah adalah hak pembeli untuk melanjutkan transaksi atau membatalkannya ketika melihat (ru’yah) barang yang akan ditransaksikan. Ini terjadi manakala pada saat akad dilakukan barang yang ditransaksikan tidak ada di tempat sehingga pembeli tidak melihatnya. Jika ia telah melihatnya maka khiyar ru’yahnya menjadi hangus dan tidak berlaku.  Khiyar ru’yah, seperti halnya khiyar-khiyar yang telah dijelaskan di depan berlaku hanya pada akad lazim yang mengandung potensi untuk dibatalkan seperti jual beli barang yang sudah siaap di tempat dan ijaroh. Adapun jual beli barang yang belum siap dan hanya diberitahukan lewat ciri-ciri dan sifatnya saja seperti dalam akad salam, maka khiyar ru’yah tidak berlaku.

Para fukoha umumnya membolehkan khiyar ru’yah dalam transaksi jual beli barang yang sudah siap tetapi tidak ada di tempat (al-a’in al-ghoibah).Diriwayatkan bahwa Utsman bin Affan pernah menjual sebidang tanahnya di Basrah kepada Tholhah bin Abdullah RA. Keduanya sama-sama belum melihat tanah tersebut. Dikatakan kepada Utsman:” Anda bermain curang?”. Maka ia berkata : “ Saya punya khiyar (ru’yah), karena saya menjual sesuatu yang belum saya lihat.” Lalu dikatakan kepada Tholhah:” Anda juga berlaku curang.” Maka ia menjawab : “ Saya punya khiyar (ru’yah) karena saya membeli sesuatu yang belum saya lihat.” H.R Baihaqi.[5]

Selain dari hadis di atas para ulama juga berpendapat bahwa khiyar ru’yah ini sangat diperlukan dalam berbagai transaksi bisnis. Misalnya saja, seseorang mungkin membutuhkan suatu barang yang belum ia lihat, dengan adanya khiyar ru’yah maka kasus ini dapat diselesaikan dengan mudah karena ia dapat diberi kesempatan melihat barang yang akan dibeli sehingga terhindar dari kecurangan, tipuan dan permainan yang akan merugikan dirinya.

Syarat-syarat berlakunya khiyar ru’yah.
1.      Tidak/ belum terlihatnya barang yang akan dibeli ketika akad atau sebelum akad.
2.      Barang yang diakadkan harus berupa barang konkrit seperti tanah, kendaraan, rumah dan lain-lain.
3.      Jenis akad ini harus dari akad-akad yang tabiatnya dapat menerima pembatalan seperti jual beli dan ijarah. Bila tidak bersifat menerima pembatalan maka khiyar ini tidak berlaku seperti kawin dan khulu’ tidak berlaku khiyar ru’yah di dalamnya.

5.      Khiyar Ta’yin
Yang dimaksud dengan khiyar ta’yin adalah hak yang dimiliki oleh orang yang menyelenggarakan akad (terutama pembeli) untuk menjatuhkan pilihan di antara tiga sifat barang yang ditransaksikan. Biasanya barang yang dijual memiliki tiga kualitas yaitu biasa, menengah dan istimewa. Pembeli diberikan hak pilih (ta’yin) untuk mendapatkan barang yang terbaik menurut penilaiannya sendiri tanpa menadapatkan tekanan dari manapun juga. Khiyar inipun hanya berlaku bagi akad-akad muawazhat yaitu akad-akad yang mengandung tukar balik seperti macam-macam jual beli dan hibah.

Tidak semua fukoha sepakat dengan khiyar ini karena menurut mereka wujud khiyar ini mengindikasikan adanya ketidakjelasan dalam barang yang ditransaksikan. Padahal dalam persyaratan akad, barang yang akan dijual harus jelas dan terang. Karena itu dibolehkannya khiyar ta’yin dalam akad seolah-olah bertetangan dengan persyaratan akad.[6]  Sementara itu Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan kedua sahabatnya (Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad) membolehkan khiyar ta’yin secara istihsan karena hal ini sangat diperlukan dalam kehidupan bisnis. Misalnya ada orang yang mau membeli suatu barang yang ia butuhkan, tetapi ia tidak mengetahui banyak tentang kegunaan secara optimal, kualitas, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan manfaat dan kualitasnya. Untuk itu ia perlu konsultasi dengan orang lain yang lebih ahli dalam bidang itu sehingga dapat memilih secara bijak dan tepat.

Syarat-syarat khiyar ta’yin
1.      Biasanya kualitas suatu barang itu dari biasa, menengah dan istimewa. Karena itu khiyar dibatasi hanya pada tiga klasifikasi di atas. Lebih dari itu tidak diperlukan lagi khiyar.
2.      Adanya kualitas dan jenis barang atau harganya bertingkat-tingkat.
3.      Masa khiyar ta’yin harus tertentu dan dijelaskan, misalnya 3 hari.
Jika pembeli sudah menjatuhkan pilihannya pada salah satu jenis barang yang ditawarkan, maka akad sudah jadi dan kepindahan kepemilikan telah berlaku.

                                                                                 Oleh : Ikhwan Abidin Basri, MA











[1] Akad lazim adalah akad yang sudah diselenggarakan dengan sempurna secara syar’i. Ia telah memenuhi segenap rukun dan persyaratannya sehingga kedua belah pihak yang bertransaksi tidak memiliki hak untuk melakukan pembatalan kecuali dengan kerelaan pihak lainnya.   
[2] Akad muawazhot adalah akad yang melibatkan saling mengganti antara pihak yang menyelenggarakannya seperti segala bentuk jual beli di mana si pembeli memberikan sejumlah uang kepada si penjual dan si penjual memberikan barang yang dibeli kepada pembeli.
[3] Pengertian fasad dan batal dapat ditelusuri pada modul-modul yang telah diberikan sebelumnya.
[4] Madzhab Hanafi dan Hambali mengatakan tidak harus mensegerakan pengembalian barang sesudah diketahui adanya cacat, sementara madzhab Maliki dan Syafi’i mewajibkan untuk mensegerakannya.
[5] Peristiwa ini terjadi di zaman sahabat dan disaksikan oleh mereka; tak seorangpun dari mereka yang menolak atau mengingkarinya. Dengan demikian landasan syariah bagi khiyar ini kuat ditinjau dari riwayat yang ada.
[6] Fukoha yang menentang khiyar ta’yin antara lain Syafi’i, Ahmad dan Zufar dari kalangan Hanafiyah.

0 komentar:

Posting Komentar

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun".

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls