"Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan PEMAHAMAN AGAMA kepadanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Sabtu, 26 Mei 2012

Baru Ujian? Belum Indikasi Kesuksesan

         Mempunyai jabatan tinggi, istri cantik, mobil mewah, rumah istana atau menjadi artis ato model adalah sederetan anggapan orang yang telah mencapai kesuksesan. Banyak manusia menilai, bahwa kekuasaan, jabatan, kekayaan maupun popularitas itu adalah ciri dari indikasi pencapaian kesuksesan. Padahal, hakikatnya pemberian itu baru sebatas ujian, belum menunjukan indikasi hasil. Hal ini serupa dengan seorang mahasiswa yang disodori soal kuis untuk dikerjakan, tergantung bagaimana ia mengerjakannya, apakah ia nyontek atau ngerpek atau gak bisa ngerjain itu adalah ujian. Jika ia berhasil menjawab kuis dengan benar (tanpa nyontek lho :), itu baru kemudian ia bisa dinilai sukses. Ataukah gagal dalam mengerjakan karena nyontek, ngerpek maupun gak bisa ngerjain. Maka alangkah aneh, jika ada mahasiswa telah mengklaim atau diklaim telah sukses sementara belum terbukti bagaimana ia menjawab kuis yang diajukan.
          Memang, menghadapi hidup dengan berbagai corak dan warna adalah ujian. Ujian kenikmatan memang selalu terlihat enak, tapi ini tidak berarti ringan bila dilihat dari hasil yang diinginkan. Bahkan dari penelitian banyak diantara manusia yang lulus ujian kesabaran saat ditimpa kesulitan dari pada saat diberikan urusan kemudahan dan kesenangan.
           Di saat kran dunia dibuka lebar-lebar, maka manusia akan berlomba-lomba untuk mendapatkannya meskipun ada sesuatu yang harus dikorbankan. Persaudaraan yang dahulu terjalin erat kini harus rusak berantakan karena ambisi kebendaan. Sikap saling cinta dan benci yang dahulu diukur dengan agama, sekarang sudah terbalik timbangannya. Karena dunia mereka menjalin persaudaraan. Karenanya pula mereka melontarkan kebencian. Dengan ini mereka tega memutuskan tali kekerabatan, mengalirkan darah, dan melakukan beragam kemaksiatan. Seperti inilah bila kemewahan dunia menjadi puncak tujuan seseorang. Rasulullah n bersabda:
مَا الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا فَتُهلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُم
“Bukanlah kefakiran yang aku takutkan atas kalian. Tetapi aku khawatir akan dibuka lebar (pintu) dunia kepada kalian, seperti telah dibuka lebar kepada orang sebelum kalian. Nanti kalian akan saling bersaing untuk mendapatkannya sebagaimana mereka telah bersaing untuknya. Nantinya (kemewahan) dunia akan membinasakan kalian seperti telah membinasakan mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Seseorang Akan Ditanya Tentang Nikmat
Nikmat bukan pemberian cuma-cuma yang kita bebas mempergunakannya semau kita. Bahkan ia merupakan amanah sunnah yang kita akan dimintai pertanggungjawabannya. Allah berfirman:
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” Ibnu ‘Abbas c menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nikmat di sini adalah sehatnya badan, pendengaran, dan penglihatan. Allah  menanyai hamba-hamba-Nya tentang nikmat tersebut, pada apa mereka pergunakan. Allah  menanyai mereka padahal Allah l lebih tahu tentangnya daripada mereka. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa ayat tadi adalah berita dari Allah bahwa seluruh nikmat akan ditanya oleh-Nya. Qatadah berkata: “Sesungguhnya Allah akan menanyai semua hamba-Nya tentang apa yang Allah telah titipkan kepada mereka berupa nikmat dan hak-Nya.” (lihat Tafsir Al-Qasimi, 7/379)
Nabi bersabda:
لاَ تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أفنَاهُ؟ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ؟ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ؟ وَمَا ذَا عَمِلَ فِيمَ عَلِمَ؟
“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) dari sisi Rabbnya di hari kiamat hingga ditanya tentang lima hal. Tentang umurnya untuk apa ia gunakan, tentang masa mudanya pada apa ia habiskan, tentang hartanya darimana ia peroleh dan pada apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari ilmunya?” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2417, cet. Al-Ma’arif)

Maka sikap yang paling baik dan bijak merespon ujian kenikmatan adalah dengan berkata " ini termasuk karunia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau aku mengingkari akan nikmat-Nya" (Mukhamad Aziz) []

0 komentar:

Posting Komentar

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun".

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls