Dalam
mengarungi lautan hidup ini banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan
satu demi satu. Demikianlah sunnatullah dalam hidup setiap orang. Diantara
manusia ada yang berhasil menyingkirkan duri dan kerikil itu sehingga selamat
ia di dunia dan di akhirat. Namun diantara mereka tidak sedikit pula yang harus
terkapar didalama kubang kegagalan di dunia dan akhirat karena hanya tidak
mampu dalam menyingkirkan duri dan kerikil hidup tadi.
Kerikil dan duri-duri hidup itu
demikian banyak dan untuk menyingkirkannya jelas membutuhkan waktu yang sangat
panjang dan butuh suatu pengorbanan yang tidak
terhitung jumlahnya. Kita takut, jika seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah . Akankah kita bisa menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan apakah ada orang yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?
terhitung jumlahnya. Kita takut, jika seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah . Akankah kita bisa menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan apakah ada orang yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?
Maka sebelum semua itu terjadi,
sekarang kesempatan kita untuk menjawabnya dan berusaha untuk menyingkirkan duri
dan kerikil hidup tersebut. Tidak ada cara yang baik kecuali harus kembali
kepada agama kita dan bimbingan Allah
dan Rasul-Nya. Allah telah
menjelaskan didalam Al-Qur’an bahwa satu-satunya jalan adalah dengan beriman
dan beramal. Allah berfirman :
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam
kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, orang-orang yang
saling nasihat-menasihati dalam kebaikan dan saling nasihat-menasihati dalam
kesabaran.” (Al-’Ashr: 1-3)
Allah bersumpah dengan masa, menunjukkan waktu
manusia yang kian berharga. Dengan waktu seseorang dapat memupuk iman dan
memperkaya diri dengan amal shalih. Dengan waktu pula seseorang dapat
terjerumus dalam perkara-perkara yang dimurkai Allah . Empat perkara yang Allah
sebutkan dalam ayat tersebut yaitu tanda kebahagiaan, kemenangan, dan
keberhasilan seseorang di dunia dan akhirat.
Keempat perkara inilah yang harus
dimiliki dan diketahui setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai
kehidupan.
Iman adalah Ucapan dan
Perbuatan
Mengucapkan “saya beriman”, memang
sangat mudah dan ringan diucapkan di mulut. Namun bukan hanya dengan itu iman
seseorang dapat menjadi sempurna. Ketika seseorang memproklamirkan dirinya
beriman, ia memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dan ujian yang harus
diterima. Demikianlah tuntunan dari iman itu. Artinya, mengikrarkan keimanan
berkonsekuensi untuk siap melaksanakan semua yang diperintahkan Allah dan menjauhi semua yang telah dilarang-Nya
baik itu berat ataupun ringan, disukai atau tidak.
Konsekuensi iman banyak sekali
macamnya. Kesiapan untuk menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya untuk selalu
berada diatas ridha Allah merupakan
salah satu dari konsekuensi iman. Menerima apa yang telah diberitakan Allah dan Rasulullah tentang perkara-perkara ghaib dan apa yang
akan terjadi di umat beliau itu merupakan konsekuensi iman. Memuliakan
orang-orang yang melaksanakan syariat Allah ,
mencintai serta membela mereka, juga merupakan konsekuensi iman. Dan
kesiapan untuk menerima segala ujian serta cobaan dalam mewujudkan keimanan
tersebut juga merupakan konsekuensi dari iman itu sendiri.
Allah berfirman didalam Al-Qur’an :
“Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahwa
mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji.
Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar
mengetahui siapakah di antara mereka yang benar beriman dan agar Kami
mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (Al-’Ankabut:
1-3)
Rasulullah juga bersabda :
“Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi,
kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (HR. Al-Imam At-Tirmidzi
dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri dan Sa’ad bin Abi Waqqash)
Dari sini jelaslah penjelasan
tentang iman adalah ucapan dan perbuatan. Artinya, mengucapkan dengan lisan
serta beramal dengan hati dan anggota badan. Serta memiliki konsekuensi yang
harus diwujudkan dalam kehidupan dimana konsekuensinya adalah amal.
Amal
Amal merupakan konsekuensi dari iman
dan memiliki nilai yang positif dalam mengarungi tantangan hidup dan segala
fitnah yang ada didalamnya. Terlebih apabila seseorang itu menginginkan
kebahagiaan yang hakiki. Allah telah
menjelaskan hal ini didalam Al-Qur’an :
“Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian
dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi
orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 133)
Maka telah jelas melalui ayat ini
Allah menyerukan kepada hamba-Nya agar
bersegera untuk menuju kepada amal kebajikan dan bersegera untuk mendapatkan
kedekatan disisi Allah serta bersegera
pula untuk mendapatkan surga-Nya
Allah berfirman :
“Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan.”
(Al-Baqarah: 148)
Rasulullah juga bersabda :
“Bersegeralah kalian
menuju amal shalih karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang
mukmin bila berada di waktu
pagi dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir. Dan jika di sore hari dia beriman
maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.”
(Shahih, HR Muslim no.117 dan
At-Tirmidzi)
Dari hadist yang tersebut banyak
pelajaran yang dapat kita ambil didalamnya. Diantaranya, wajibnya untuk beramal
shalih sebelum datang perkara-perkara yang akan menghalanginya. Fitnah di akhir
zaman akan datang silih berganti dan ketika berakhir satu fitnah, maka akan
muncul fitnah-fitnah yang lainnya.
Kalau begitu apakah dengan beramal
dengan penuh keuletan saja dapat diterima amal kita? Apakah hanya cukup dengan
banyaknya amal saja sehingga dapat bertambah keimanan kita?
Syarat Diterimanya Iman
Ada persyaratan yang harus dipenuhi
agar amal kita dapat diterima Allah . Hal itu telah Allah sebutkan sendiri dalam kitab-Nya dan
Rasulullah didalam hadistnya. Syarat itu
adalah sebagai berikut :
Pertama,
amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata karena Allah .
Allah berfirman :
“Dan tidaklah mereka
diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus.”
(Al-Bayyinah: 5)
Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya amal-amal
tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
Dari kedua dalil ini dapat kita
ketahui bahwa syarat pertama untuk dapat diterima amal kita adalah ikhlas
karena Allah saja. Amal tanpa disertai
dengan keikhlasan maka tidak akan diterima oleh Allah .
Kedua,
amal tersebut harus sesuai dengan sunnah (petunjuk) rasulullah . Beliau
bersabda :
“Dan barangsiapa yang
melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR.
Muslim dari ‘Aisyah x)
Dari dalil-dalil diatas, para ulama
sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan
rasulullah . Kalau salah satu dari keduanya tidak terpenuhi, maka tidak akan
pernah diterima amal ibadahnya.
Dari sini pula sangat jelas
kesalahan orang-orang yang mengatakan “yang
pentingkan niatnya”. Tidak bisa demikian. Kalau istilah “yang penting niat”
adalah benar, niscaya kita akan selalu membenarkan segala perbuatan maksiat
kepada Allah . Kita akan mengatakan pencuri, pezina, penipu, pelaku
bid’ah(perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari
rasulullah ), bahkan kesyirikan tidak bisa disalahkan hanya karena niat yang dianggapnya
‘masih benar’.
Hal ini akan mengundang banyak
pertanyaan. Diantaranya, bagaimana apabila seseorang mencuri namun dengan
niatan untuk memberi nafkah anak dan istrinya, apakah perkara ini bisa
dibenarkan? Apakah seseorang yang melakukan bid’ah dengan niat hanya ingin
beribadah kepada Allah adalah benar?
Tentu jawabannya tidak.
Karena itu dari pembahasan diatas
dapat dipahami kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai
penentu diterimanya amal atau tidak. Kemudian, sebelum melangkah lebih jauh
untuk beramal hendaklah intropeksi kembali apa saja yang telah kita lakukan,
tanya kembali pada diri kita : Untuk siapa sebenarnya saya beramal? dan
bagaimanakah cara benar yang sesungguhnya?
Jawabannya cukup dengan kedua syarat
diatas.
Masalahnya bukan sekedar
memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amal tersebut. Allah berfirman :
“Dia Allah yang telah
menciptakan mati dan hidup agar menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al-Mulk: 2)
Diayat tadi Allah mengatakan yang paling baik dan benar
amalannya, bukan mengatakan paling banyak amalannya. Amal yang baik adalah amal
yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran rasulullah sebagai syarat agar diterima amalnya dan
sesuai dengan makna Laa ilaaha illallah-Muhammadur Rasullah.
Wallahu a’lamu bish-shawab. (F.P.A)
0 komentar:
Posting Komentar