"Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan PEMAHAMAN AGAMA kepadanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Kamis, 26 Juli 2012

Puasa, Tak Sekedar Menahan Makan dan Minum Lho !!

Ibadah puasa memiliki kedudukan tersendiri di sisi Allah. Allah akan memberikan pahala yang berlipat ganda sesuai kualitas puasa yang dilakukan seorang hamba. Semakin tinggi kualitas puasanya, semakin banyak pula pahala yang didapat. Yaitu puasa yang tidak sekadar menahan lapar dan dahaga.
Puasa merupakan ibadah yang sangat dicintai Allah. Hal ini sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
“Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah berkata, ‘Kecuali puasa, maka Aku yang akan membalas orang yang menjalankannya karena dia telah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsunya dan makannya karena Aku’.” (Sahih, HR. Muslim)
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan betapa tingginya nilai puasa. Allah akan melipatgandakan pahalanya bukan sekadar 10 atau 700 kali lipat, namun akan dibalas sesuai dengan keinginan-Nya. Padahal kita tahu bahwa Allah Maha Pemurah, maka Dia tentu akan membalas pahala orang yang berpuasa dengan berlipat ganda.
Hikmah dari semua ini adalah sebagaimana tersebut dalam hadits, bahwa orang yang berpuasa telah meninggalkan keinginan hawa nafsu dan makannya karena Allah. Tidak tampak dalam dzahir (lahiriah)nya dia sedang melakukan suatu amalan ibadah, padahal sesungguhnya dia sedang menjalankan ibadah yang sangat dicintai Allah dengan menahan lapar dan dahaga. Sementara di sekitarnya ada makanan dan minuman.
Di samping itu, dia juga menjaga hawa nafsunya dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Semua itu dilakukan karena mengharapkan keridhaan Allah dengan meyakini bahwa Allah mengetahui segala gerak-geriknya.
Di antara hikmahnya juga yaitu karena orang yang berpuasa sedang mengumpulkan seluruh jenis kesabaran di dalam amalannya. Yaitu sabar dalam taat kepada Allah, dalam menjauhi larangan, dan di dalam menghadapi ketentuan takdir-Nya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya akan dipenuhi bagi orang-orang yang sabar pahala mereka berlipat ganda tanpa perhitungan.” (az-Zumar: 10)
Perlu menjadi catatan penting bahwa puasa bukanlah sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lainnya yang membatalkan puasa. Orang yang berpuasa harus pula menjaga lisan dan anggota badan lainnya dari segala yang diharamkan oleh Allah. Namun bukan berarti ketika tidak sedang berpuasa boleh melakukan hal-hal yang diharamkan tersebut.
Maksudnya adalah bahwa perbuatan maksiat itu lebih berat ancamannya bila dilakukan pada bulan yang mulia ini dan ketika menjalankan ibadah yang sangat dicintai Allah. Bisa jadi seseorang yang berpuasa itu tidak mendapatkan faedah apa-apa dari puasanya kecuali hanya merasakan haus dan lapar. Na’udzubillahi min dzalik.
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang berpuasa agar mendapatkan balasan dan keutamaan-keutamaan yang telah Allah janjikan. Di antaranya:
1.    Setiap muslim harus membangun ibadah puasanya di atas iman kepada Allah dalam rangka mengharapkan ridha-Nya, bukan karena ingin dipuji atau sekadar ikut-ikutan keluarga atau masyarakatnya yang sedang berpuasa. Rasulullah bersabda:
“Barang siapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)
2.    Menjaga anggota badannya dari hal-hal yang diharamkan Allah, seperti menjaga lisannya dari dusta, ghibah, dan lain-lain. Begitu pula menjaga matanya dari melihat orang lain yang bukan mahramnya baik secara langsung atau tidak langsung, seperti melalui gambar, film, dan sebagainya. Juga menjaga telinga, tangan, kaki, dan anggota badan lainnya dari bermaksiat kepada Allah. Rasulullah bersabda:
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah tidak peduli dia meninggalkan makan dan minumnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1804)
Maka semestinya orang yang berpuasa tidak mendatangi pasar, supermarket, mal, atau tempat-tempat keramaian lainnya melainkan ada kebutuhan yang mendesak. Karena biasanya tempat-tempat tersebut bisa menyeretnya untuk mendengarkan dan melihat perkara-perkara yang diharamkan Allah. Begitu pula menjauhi televisi, karena tidak bisa dimungkiri lagi bahwa efek negatifnya sangat besar baik bagi orang yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa.
3.    Bersabar untuk menahan diri dan tidak membalas kejelekan yang ditujukan terhadapnya.
Rasulullah n bersabda dalam hadits Abu Hurairah:
“Puasa adalah tameng, maka apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah dia berkata kotor dan janganlah bertengkar dengan mengangkat suara. Jika dia dicela dan disakiti maka katakanlah, ‘Saya sedang berpuasa’.” (Sahih, HR. Muslim)
Dari hadits tersebut bisa diambil pelajaran tentang wajibnya menjaga lisan. Apabila seseorang bisa menahan diri dari membalas kejelekan maka tentunya dia akan terjauhkan dari memulai menghina dan melakukan kejelekan lainnya.
Sesungguhnya puasa itu akan melatih dan mendorong seorang muslim untuk berakhlak mulia serta melatih dirinya menjadi sosok yang terbiasa menjalankan ketaatan kepada Allah. Namun hasil yang demikian tidak akan didapat kecuali dengan menjaga puasanya dari beberapa hal yang tersebut di atas.
Puasa itu ibarat sebuah baju. Bila orang yang memakai baju itu menjaganya dari kotoran atau sesuatu yang merusaknya, tentu baju tersebut akan menutupi auratnya, menjaganya dari terik matahari dan udara yang dingin, serta memperindah penampilannya. Demikian pula puasa, orang yang mengamalkannya tidak akan mendapatkan buah serta faedahnya kecuali dengan menjaga diri dari hal-hal yang bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan pahalanya.(Faris)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Akankah Amalku Diterima?

          Dalam mengarungi lautan hidup ini banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan satu demi satu. Demikianlah sunnatullah dalam hidup setiap orang. Diantara manusia ada yang berhasil menyingkirkan duri dan kerikil itu sehingga selamat ia di dunia dan di akhirat. Namun diantara mereka tidak sedikit pula yang harus terkapar didalama kubang kegagalan di dunia dan akhirat karena hanya tidak mampu dalam menyingkirkan duri dan kerikil hidup tadi.
            Kerikil dan duri-duri hidup itu demikian banyak dan untuk menyingkirkannya jelas membutuhkan waktu yang sangat panjang dan butuh suatu pengorbanan yang tidak terhitung jumlahnya. Kita takut, jika seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah . Akankah kita bisa menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan apakah ada orang yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?
            Maka sebelum semua itu terjadi, sekarang kesempatan kita untuk menjawabnya dan berusaha untuk menyingkirkan duri dan kerikil hidup tersebut. Tidak ada cara yang baik kecuali harus kembali kepada agama kita dan bimbingan Allah  dan Rasul-Nya. Allah  telah menjelaskan didalam Al-Qur’an bahwa satu-satunya jalan adalah dengan beriman dan beramal. Allah  berfirman :
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, orang-orang yang saling nasihat-menasihati dalam kebaikan dan saling nasihat-menasihati dalam kesabaran.” (Al-’Ashr: 1-3)
Allah  bersumpah dengan masa, menunjukkan waktu manusia yang kian berharga. Dengan waktu seseorang dapat memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal shalih. Dengan waktu pula seseorang dapat terjerumus dalam perkara-perkara yang dimurkai Allah . Empat perkara yang Allah sebutkan dalam ayat tersebut yaitu tanda kebahagiaan, kemenangan, dan keberhasilan seseorang di dunia dan akhirat.
            Keempat perkara inilah yang harus dimiliki dan diketahui setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai kehidupan.
Iman adalah Ucapan dan Perbuatan
            Mengucapkan “saya beriman”, memang sangat mudah dan ringan diucapkan di mulut. Namun bukan hanya dengan itu iman seseorang dapat menjadi sempurna. Ketika seseorang memproklamirkan dirinya beriman, ia memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dan ujian yang harus diterima. Demikianlah tuntunan dari iman itu. Artinya, mengikrarkan keimanan berkonsekuensi untuk siap melaksanakan semua yang diperintahkan Allah  dan menjauhi semua yang telah dilarang-Nya baik itu berat ataupun ringan, disukai atau tidak.
            Konsekuensi iman banyak sekali macamnya. Kesiapan untuk menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya untuk selalu berada diatas ridha Allah  merupakan salah satu dari konsekuensi iman. Menerima apa yang telah diberitakan Allah  dan Rasulullah  tentang perkara-perkara ghaib dan apa yang akan terjadi di umat beliau itu merupakan konsekuensi iman. Memuliakan orang-orang yang melaksanakan syariat Allah ,  mencintai serta membela mereka, juga merupakan konsekuensi iman. Dan kesiapan untuk menerima segala ujian serta cobaan dalam mewujudkan keimanan tersebut juga merupakan konsekuensi dari iman itu sendiri.
            Allah  berfirman didalam Al-Qur’an :
“Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar mengetahui siapakah di antara mereka yang benar beriman dan agar Kami mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (Al-’Ankabut: 1-3)
            Rasulullah  juga bersabda :
“Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (HR. Al-Imam At-Tirmidzi dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri dan Sa’ad bin Abi Waqqash)
            Dari sini jelaslah penjelasan tentang iman adalah ucapan dan perbuatan. Artinya, mengucapkan dengan lisan serta beramal dengan hati dan anggota badan. Serta memiliki konsekuensi yang harus diwujudkan dalam kehidupan dimana konsekuensinya adalah amal.
  Amal
            Amal merupakan konsekuensi dari iman dan memiliki nilai yang positif dalam mengarungi tantangan hidup dan segala fitnah yang ada didalamnya. Terlebih apabila seseorang itu menginginkan kebahagiaan yang hakiki. Allah  telah menjelaskan hal ini didalam Al-Qur’an :
“Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 133)
            Maka telah jelas melalui ayat ini Allah  menyerukan kepada hamba-Nya agar bersegera untuk menuju kepada amal kebajikan dan bersegera untuk mendapatkan kedekatan disisi Allah  serta bersegera pula untuk mendapatkan surga-Nya
            Allah  berfirman :
“Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan.” (Al-Baqarah: 148)
            Rasulullah  juga bersabda :
“Bersegeralah kalian menuju amal shalih karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir. Dan jika di sore hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan At-Tirmidzi)
            Dari hadist yang tersebut banyak pelajaran yang dapat kita ambil didalamnya. Diantaranya, wajibnya untuk beramal shalih sebelum datang perkara-perkara yang akan menghalanginya. Fitnah di akhir zaman akan datang silih berganti dan ketika berakhir satu fitnah, maka akan muncul fitnah-fitnah yang lainnya.
            Kalau begitu apakah dengan beramal dengan penuh keuletan saja dapat diterima amal kita? Apakah hanya cukup dengan banyaknya amal saja sehingga dapat bertambah keimanan kita?
Syarat Diterimanya Iman

            Ada persyaratan yang harus dipenuhi agar amal kita dapat diterima Allah . Hal itu telah Allah  sebutkan sendiri dalam kitab-Nya dan Rasulullah  didalam hadistnya. Syarat itu adalah sebagai berikut :

            Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata karena Allah .
            Allah  berfirman :
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)
            Rasulullah  bersabda :
“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
            Dari kedua dalil ini dapat kita ketahui bahwa syarat pertama untuk dapat diterima amal kita adalah ikhlas karena Allah  saja. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka tidak akan diterima oleh Allah .

            Kedua, amal tersebut harus sesuai dengan sunnah (petunjuk) rasulullah . Beliau bersabda :
“Dan barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah x)
            Dari dalil-dalil diatas, para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah  adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan rasulullah . Kalau salah satu dari keduanya tidak terpenuhi, maka tidak akan pernah diterima amal ibadahnya.
            Dari sini pula sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “yang pentingkan niatnya”. Tidak bisa demikian. Kalau istilah “yang penting niat” adalah benar, niscaya kita akan selalu membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah . Kita akan mengatakan pencuri, pezina, penipu, pelaku bid’ah(perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari rasulullah ), bahkan kesyirikan tidak bisa disalahkan hanya karena niat yang dianggapnya ‘masih benar’.
            Hal ini akan mengundang banyak pertanyaan. Diantaranya, bagaimana apabila seseorang mencuri namun dengan niatan untuk memberi nafkah anak dan istrinya, apakah perkara ini bisa dibenarkan? Apakah seseorang yang melakukan bid’ah dengan niat hanya ingin beribadah kepada Allah  adalah benar? Tentu jawabannya tidak.
            Karena itu dari pembahasan diatas dapat dipahami kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya amal atau tidak. Kemudian, sebelum melangkah lebih jauh untuk beramal hendaklah intropeksi kembali apa saja yang telah kita lakukan, tanya kembali pada diri kita : Untuk siapa sebenarnya saya beramal? dan bagaimanakah cara benar yang sesungguhnya?
            Jawabannya cukup dengan kedua syarat diatas.
            Masalahnya bukan sekedar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amal tersebut. Allah  berfirman :
“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup agar menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al-Mulk: 2)
            Diayat tadi Allah  mengatakan yang paling baik dan benar amalannya, bukan mengatakan paling banyak amalannya. Amal yang baik adalah amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran rasulullah  sebagai syarat agar diterima amalnya dan sesuai dengan makna Laa ilaaha illallah-Muhammadur Rasullah.(Faris)
            Wallahu a’lamu bish-shawab
Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun".

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls